Rabu, 21 September 2011

Pasar Seni Ubud ( Hari Ke 3 di Bali)

Selalu ada paradoks dalam setiap sisi kehidupan. Perjalanan kali ini saya juga menemukan paradoks yang cukup menyakitkan. Bila pada hari pertama perjalanan kami berlimpahan uang, berbelanja lukisan yang bukan main harganya, mampir ke toko toko batik,Dagadu dan aneka asesoris di Yogya, di Bali kami jatuh miskin. Bahkan untuk makan kami harus kencangkan ikat pinggang. Saya bahkan sudah membayangkan kalau akan membuat semacam kecrekan dari tutup botol yang biasa saya lihat di kopaja ibukota tercinta kita, Jakarta. Saya tidak tega membayangkan teman saya yang kurus hitam memegang kecrekan sambil berteriak serak lalu kita akan menyanyikan lagu yang menyayat hati.. sambil memegang bekas bungkusan permen... oh tidak. Sungguh tragis.



Boleh dikatakan kami adalah orang yang beruntung karna kami menemukan orang yang begitu berbaik hati pada kami. Rekan yang semula hanya saya kenal dari situs jejaring sosial tak disangka telah menjadi pahlawan kami di Bali. Setelah mengetahui bahwa keadaan kantong kami telah mengalami masa kritis, dengan baik hatinya menawarkan untuk membawakan makan siang yang ternyata berikut makan malam. Tuhan telah sangat berbaik hati pada kami. Sampai – sampai saya berjanji pada diri sata sendiri akan memperlakukan orang yang membutuhkan saya layaknya saudara sendiri. Dua turis gembel ini seperti pengembara di gurun sahara yang ditawari sumur air minum oleh warga setempat.. senang bukan main.

Perjalanan di hari ke tiga kami diawali dengan Taman Kera yang berada di Ubud. Dalam perjalanan kami melihat sekumpulan orang mengusung semacam keranda yang belakangan saya ketahui itu adalah tradisi 'Ngaben'. Sesuatu yang sangat ingin saya lihat di Bali dan akhirnya saya temukan. Dalam usungan itu terdapat mayat orang yang akan di bakar jasadnya dalam upacara ngaben. Dalam adat orang Bali, kasta masih sangat kental terasa. Bila orang yang meninggal berasal dari kasta yang tinggi, maka bentuk usungannya juga berbeda dengan kasta dibawahnya. Upacara ngaben tidak dilaksanakan kapan saja. Mereka menunggu hari yang baik. Seseorang yang meninggal dalam adat Bali, akan dikuburkan sambil menunggu hari yang baik baru diadakan upacara ngaben. Terkadang sesosok mayat harus menunggu sampai 6 bulan baru diadakan upacara ngaben.

Sebenarnya saya ingin sekali mengikuti keramaian sampai ke tempat upacara, namun dikarenakan waktu tidak mencukupi, akhirnya kami melanjutkan perjalanan kearah Ubud. Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, akhirnya sampailah kami ke Ubud. Tempat parkir Ubud seperti halnya tempat parkir Dreamland, ramai dipadati pengunjung. Setelah mendapatkan posisi sejuk untuk kendaraan, tempat pertama yang kami masuki adalah Taman Kera. Di depan pintu masuk terpampang pengumuman bagi pengunjung agar tidak membawa makanan didalam tas, tidak memegang kera
karna reaksinya tidak bisa ditebak, tidak melewati batas wilayah yang diperbolehkan untuk berjalan.

Bila dikalangan para politisi, polisi gocap, anak geng, sampai anak preman dijalanan ada seorang yang di tuakan atau disegani seperti kepala dari kelompok mereka, maka para primata ini pun memiliki kepala kelompoknya sendiri. Saya mulai percaya pada teori Darwis, kalau kaum kita sebenarnya adalah cucu buyut dari kaum primata ini. Berdasarkan informasi dari kawan saya, besar kepala kelompok primata ini bisa sebesar semeter. Ukuran yang lumayan untuk ditakuti.

Setelah tiga hari bersama, kami mulai makin mengenal selera dan pribadi satu sama lain. Memenuhi janji saya pada teman di Jakarta, saya mulai memburu bule asing untuk di ajak berfoto. Hm,,, seperti saya katakan, kawan saya ini ternyata menemukan pria asing yang sesuai selera kami. Hahaha... alhasil selain berfoto dengan para kera disana, kami juga mendapatkan foto eksklusif dengan keturunannya.

Rute selanjutnya kami menelusuri sepanjang jalan Ubud yang terkenal dengan citarasa seninya itu. Memang daerah ini adalah kawasan pasar seni. Dikiri kanan jalan anda dapat temui segala macam karya seni adiluhung hasil ciptaan putra pulau dewata Bali. Mulai dari kulit kerang, bebatuan, karang, kayu, hingga kertas koran ditangan para putra seniman ini telah disulap menjadi karya seni yang mengagumkan.

Puas bermain di Ubud kami lanjutkan perjalanan ke sawah bertingkat yang letaknya tidak jauh dari Ubud. Sawah bertingkat disini perairannya digunakan beramai – ramai dari satu atau beberapa mata air yang dialirkan sedemikian rupa sehingga setiap jengkal tanah dibawahnya memiliki air yang cukup untuk sawahnya. Tidak ada sistem aku dan kamu disini, yang ada hanya kami. Sungguh kontras dengan Jakarta ibukota ku tercinta.

Ditengah – tengah sawah yang menjorok kedalam, terdapat sebuah rumah . Saya tidak bisa membayangkan cara mereka orang daerah mencapai ke ujung jalan sawah bertingkat ini. Luar biasa. Seorang nenek – nenek tua memikul keranjang menghampiri kami dengan senyum indah nan menawan. Tak tampak satupun giginya yang dulu pastinya putih dan bersih itu, yang ada hanya jempol yang diacungkan tinggi – tinggi laksana seorang foto model kawakan membintangi bintang iklan sambel cap Jempol.

Saya dan rekan yang orang Jakarta kurang mengerti maksud nenek ini, tak lama fotografer kami langsung menjepret nenek cantik tersebut. Ternyata nenek tersebut minta di foto dengan imbalan uang tentunya. Kreatif sekali.. foto nenek cantik tersebut akhirnya menjadi koleksi indah panorama Bali yang akan saya bawa pulang Jakarta sebagai oleh – oleh. Indahnya sawah bertingkat mengakhiri perjalanan kami hari ini. Namun keindahan seni dan panorama sawah bertingkat ini sungguh memberikan saya pengalaman tak terlupakan






3 komentar:

  1. Akhirnya foto2 dgan bule tercapai.hahaha....nenek berpose adu hai,,,,hahaha,, iklannya kayak handyplast,,, :-D keranya nakal ga tuh,,, hehehe,,,

    BalasHapus
  2. tercapai dong foto ama bule, hehe... sayang yang di samping bule, bulepotan... keranya sih mestinya jinak.

    BalasHapus