Kamis, 15 September 2011

Menggapai Matahari(Malam Pertama di Bali)

Semua orang pasti mempunyai mimpi. Namun bila anda tidak melawan ketakutan anda sendiri, anda tidak akan mencapai apapun dalam hidup anda, termaksud mimpi anda. Sebagai anak rumahan sejak dulu saya senang sekali berpetualang namun belum menemukan rekan yang cocok untuk melaksanakan niat saya. Kali ini bertemu dengan rekan yang cocok tidak saya lewatkan kesempatan ini. Setelah perjalanan saya dan rekan ke Yogyakarta, hari berikutnya kami melanjutkan ke Bali. Dari hotel kami langsung naik becak ke Stasiun Lempuyangan Rp. 20.000,- mungkin bisa lebih murah bila anda pandai menawar harga. 

Kami naik kereta Sritanjung, kereta ekonomi tujuan Banyuwangi dengan tarif Rp.35.000,-. Berdasarkan peta, rute yang kami tempuh mengelilingi pulau jawa dari Jakarta sampai Banyuwangi. Waktu yang kami habiskan dikereta selama +/- 18 jam. Sesampainya di Banyuwangi, kami lanjutkan ke Pelabuhan Ketapang yang jaraknya tidak jauh dari stasiun. Dari sana kami naik Fery yang menyebrang ke Pelabuhan Gilimanuk – Bali. Harga fery Rp. 6.000,- saja. Jarak yang ditempuh berkisar 45 menit – 1 jam. Selanjutnya kami naik Bus ke Terminal Ubung Rp. 25.000,- Jarak dari Gilimanuk ke Terminal Ubung ternyata cukup jauh dan berkelok.

Bila anda melewatinya ditengah malam seperti kami, anda dapat melihat pemandangan seperti di hutan. Dikiri kanan anda hanya akan melihat pepohonan besar yang dahannya pada akhirnya menutupi atas jalan seperti kanopi. Tak lama saya dan kawan mencium wangi dupa. Ternyata kenek bus kami yang menyalakan dupa, mobil kemudian berhenti untuk menyembahyangi stupa yang saya kurang jelas melihatnya. Ditengah jalan mobil berhenti lagi disebuah tulisan “Tanah Suci” untuk sembahyang dan mempersembahkan dupa. Ya,, saya juga ikut berdoa dalam hati menurut keyakinan saya, semoga aman dalam perjalanan. Kenek juga memakai bunga di kiri kanan daun telinganya. Menambah khidmad malam kami. Dibali, anda dapat menemui banyak pohon besar yang ditutupi kain. Lalu kemudian disembahyangi dan diberikan sesajen. Sebuah pemandangan yang tidak akan anda saksikan di Jakarta.

Sesampai di Terminal Ubung, sembari menunggu teman yang akan menjemput kami, kami terlebih dahulu memesan tiket bus Pahala Kencana untuk pulang ke jakarta. Karna musim liburan, harga tiket melonjak dua kali lipat, tak ingin terdesak dalam jalur pulang mudik lebaran, kamipun akhirnya harus merogoh kocek lebih dalam, Rp. 550.000,- Tapi semua itu terbayarkan dengan pengalaman menarik kami di Bali.

Anda tentu tahu Jessica Smith, foto bayinya menghiasi matahari dalam film Teletubbies. Semalaman diliputi perasaan cemas sekaligus gembira, melihat matahari perlahan naik mengingatkan saya akan wajah bayinya dengan senyum merekah.. Ah.. sungguh menghangatkan jiwa yang lelah. Inilah sunrise pertama saya di Bali. Setelah sekian lama menunggu teman kami, akhirnya yang di tunggu – tunggu muncul juga. Dengan badan yang letih dan kusut kami segera mengikuti teman kami yang notabene adalah orang Bali asli. Uang tersisa dikantong saya adalah Rp.1.100.000,- dengan uang yang minim ini saya harus pandai – pandai berhemat.di Bali.

Sebelum saya melakukan perjalanan saya slalu membiasakan diri mengecek rute, hotel, waktu perjalanan dan biaya perjalanan. Perjalanan ke Bali kali ini saya sebelumnya sudah merencanakan untuk menginap di kostan saja. Sebelum berangkat saya telah membooking 2 buah kosan dan 1 buah hotel di Bali. Namun pada kenyataannya ketika kami hampiri, hanya satu yang berkenan dihati. Biaya kost di Bali kami seharga Rp. 25.000,- permalam saja. Murah bukan? Kami hanya perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp. 175.000,- untuk menginap 7 malam di Bali. Bayangkan dengan biaya bila anda menginap di hotel atau homestay biasa yang biaya permalamnya paling minim Rp. 150.000,- permalam dengan fasilitas yang kurang lebih hampir sama. Yang membedakan hotel dengan kosan kami hanyalah breakfastnya saja. Tapi tak mengapa, karna kami bawa persediaan makanan sendiri.

Terkadang dengan semakin majunya teknologi, semakin membawa anak bangsa kearah keterpurukan moral yang kian mendalam. Beberapa bahkan tertipu dalam jejaring sosial hingga harus kehilangan nyawanya. Namun kadang kemajuan teknologi juga membawa efek yang baik dalam kehidupan manusia. Seperti contohnya saya, dengan adanya komunikasi yang tidak disengaja di jejaring sosial, pada akhirnya memberikan keberuntungan tersendiri ketika kami berada di Bali. Dengan bantuan kenalan yang secara tidak sengaja saya kenal dari jejaring sosial, ternyata beliau adalah seorang mantan duta pariwisata yang baik hati. Dengan sukarela bersedia menjemput kami dari terminal Ubung lalu kemudian mengantarkan kami sampai menemukan tempat kost yang nyaman dan murah.

Tour guide kami ini orang yang sangat unik dan tulus. Setelah mengantarkan kami ke kostan, sorenya kami dijemput lagi untuk melihat sunset di pantai Kuta. Pantai yang sudah sejak lama ingin saya kunjungi. Setelah mengetahui bahwa beliau ternyata juga adalah seorang fotographer, maka saya dengan tak segan - segan lagi segera menyerahkan kotak pusaka berwarna merah marun bersarung hitam ditangan saya, kamera digital pocket. Segera saja kami bermain air laksana anak kecil yang diberikan mainan yang telah lama diidam - idamkan  oleh ayahnya.. Wuihh... Kuta... akhirnya kami datang pada mu. Pantai khas Bali. Saya yakin bila kita bertanya pada turis disana, apakah mereka tahu bahwa Bali itu bagian dari Indonesia, kebanyakan dari mereka akan menjawab tidak tahu, Kenyataan yang membuat miris hati.

Kuta adalah pantai yang landai. Dimana tidak terdapat banyak ombak dan pasirnya juga halus. Kebanyakan orang bermain di Kuta untuk menikmati suasana sunset dan ketenangannya pantainya. Tahukah anda, bahkan dipantai, kami juga menemukan sesajen. Tentu saja bagian pemotretan saya serahkan pada ahlinya. Akhirnya kami bermain air hingga malam lalu berjalan kaki menelusuri pantai Kuta. Sambil berbincang kami menikmati suasana malam di Kuta. Walau sudah sepi dan gelap, namun bercengkrama ditemani suara deburan ombak dan angin malam sungguh sangat menenangkan hati. Lelah badan kami selama perjalanan seolah tertelan ombak dan dibawa jauh ketengah lautan luas. Malam itu saya merasa telah mencapai sesuatu yang dulu saya takutkan, berjalan jauh tanpa keluarga.  Sesungguhnya saya merasa telah menggapai matahari. Sungguh malam pertama yang mengasyikkan di Bali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar