Kerajaan-kerajaan kecil tersebut saling bertempur hingga yang kecil akan lenyap di caplok kerajaan yang lebih besar. Kerajaan terkuat saat itu adalah Kerajaan Ch`in yang berkedudukan di Cina Bagian Barat. Kerajaan Ch'in menganut aliran filosofis legalis sebagai dasar Negara dan mengesampingkan ajaran Kong Hu-Cu. Filosofi legalis mengajarkan bahwa rakyat harus diawasi ketat melalui aturan-aturan keras dan paksaan. Hukum dan aturan dibuat penguasa di ubah jika dianggap perlu demi kepentingan politik dan kelangsungan kekuasaan.
Ch'in kemudian berkembang menjadi kerajaan paling kuat diantara kerajaan di Cina. Cheng naik tahta pada tahun 246 SM pada umur 13 tahun dan pemerintahan dipegang dewan pemerintahan hingga Cheng cukup dewasa di tahun 238 SM. Kaisar Cheng kemudian mengangkat jendral-jendral yang berkemampuan tinggi untuk menginvansi kerajaan-kerajaan kecil yang masih tertinggal. Akhirnya tahun 221 SM Kaisar Cheng berhasil menyatukan Cina dan dia bisa memproklamirkan diri selaku Wang (raja) seluruh Cina. dia memakai gelar baru dan menyebut dirinya Shih Huang Ti yang maknanya "Kaisar pertama."
Dalam kepemimpinannya, Shih Huang Ti melakukan upaya mencegah perpecahan di Kekaisarannya. Ia mengganti sistem pemerintahan feodal. Wilayah yang dikuasainya dibagi-baginya menjadi 36 propinsi, dan pada tiap propinsi diangkat seorang gubernur sipil yang langsung ditunjuk oleh kaisar. Shih Huang Ti mengeluarkan dekrit bahwa gubernur propinsi tidaklah lagi berdasar keturunan. Akibat dari keputusan ini, terjadilah kebiasaan memindah-mindahkan gubernur dari satu propinsi ke propinsi lain untuk mencegah kemungkinan timbulnya pejabat daerah yang ambisius dan menyusun basis kekuatan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tiap propinsi juga punya pimpinan militer, ditunjuk oleh kaisar dan sewaktu-waktu bisa dipindah kapan saja dia berkenan. Ia juga menunjuk pejabat untuk memelihara keseimbangan antara gubernur sipil dan gubernur militer. Dia membangun jalan raya yang panjang dan rapi menghubungkan ibukota dengan kota-kota propinsi. Jalan raya itu dibangun sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi dan militer. Shih Huang Ti juga menerapkan aturan bagi aristokrat-aristokrat lama yang masih hidup harus menetap di ibukota Hsieng dengan maksud agar mereka mudah diawasi gerak-geriknya.
Shih Huang Ti juga membangun kekuatan ekonomi negaranya dengan menetapkan aturan ukuran baik untuk berat timbangan maupun panjang sesuatu barang, menetapkan standar mata uang, macam-macam peralatan, lebar serta panjang kendaraan dan mengawasi konstruksi jalan raya dan saluran-saluran air. Dan dia juga menetapkan sistem hukum yang seragam untuk seluruh Cina berikut standar bahasa tulisan. Tahun 213 SM kaisar menerapkan aturan penghancuran semua buku di Cina, kecuali buku-buku yang berkaitan dengan masalah pertanian, kedokteran, catatan sejarah mengenai negara Ch'in dan buku-buku falsafah yang ditulis oleh pengarang-pengarang penganut faham legalis. Selebihnya --tidak kecuali buku-buku doktrin Kong Hu-Cu-- mesti dimusnahkan. Dengan dikeluarkannya aturan yang kelewatan ini mungkin merupakan contoh pertama adanya sensor besar-besaran dalam sejarah. Dia bermaksud melabrak habis filosofi-filosofi lawannya, khususnya faham Kong Hu-Cu. Tetapi, Shih Huang Ti memerintahkan mengkopi buku-buku yang dilarang dan disimpan di perpustakaan di ibukota.
Politik luar negerinya juga terkenal keras dan imperalis. Ia menaklukan selatan Cina, dan daerah-daerah yang ditaklukkan dimasukkan ke dalam wilayah Cina. Juga di utara dan di barat pasukannya berhasil, namun dia tidak mampu menundukkan penduduknya secara permanen. Untuk mencegah jangan sampai mereka menyerang Cina, Shih Huang Ti menghubungkan pelbagai dinding lokal yang memang sudah ada di perbatasan Cina utara sehingga menjadi jalur tembok raksasa. Tembok besar China adalah bangunan spektakuler yang menjadi keajaiban dunia dan masih utuh hingga kini. Pembangunan tembok Cina membebankan penduduk dengan pajak tinggi, sehingga membuatnya tidak disenangi masyarakat. Berbagai upaya pembunuhan banyak dilakukan, namun selalu gagal. Kaisar kemudian meninggal secara wajar tahun 210 SM. Kaisar digantikan putera keduanya bergelar Erh Shih Huang Ti. Tetapi, kemampuannya tidak sehebat ayahnya hingga akhirnya muncul beberapa pemberontakan. Dalam tempo empat tahun dia terbunuh. Perpustakaan kerajaan dibumihangus, dan dinasti Ch'in sepenuhnya ditumbangkan.
Dinasti berikutnya (dinasti Han) meneruskan sistem dasar administratif yang ditegakkan oleh Ch'in Shih Huang Ti. Dan memang dalam kenyataannya, sepanjang dua puluh satu abad kekaisaran Cina melanjutkan garis-garis yang sudah diletakkan. Meskipun sistem hukum Ch'in yang keras segera dilunakkan oleh para kaisar dinasti Han, dan biarpun keseluruh filosofi legalis sudah dijauhi dan Confucianisme menjadi lagi falsafah negara, penyatuan politik dan kultural yang sudah dibangun oleh Shih Huang Ti tidaklah luntur.
Penulis-penulis Barat sering membandingkan Shih Huang Ti dengan Napoleon. Tetapi, tampaknya dia lebih mirip dengan Augustus Caesar, pendiri kekaisaran Romawi. Empirium yang mereka dirikan sedikit banyak punya kemiripan dalam ukuran luas daerah dan jumlah penduduk. Bedanya, empirium Romawi berdiri jauh lebih singkat dan daerah yang diperintah oleh August Caesar tidak mampu dipersatukan dalam jangka waktu lama. Tidaklah demikian pada Shih Huang Ti. Itu sebabnya Shih Huang Ti lebih punya pengaruh ketimbang August Caesar.
Referensi: http://luk.staff.ugm.ac.id
Konon ketika kaisar Shih Huang Ti terbaring sekarat, ia berbisik kepada anak-anaknya, “Betul kata Kong Hucu, kita tidak dapat melihat bayangan wajah kita di air yang mengalir, kita hanya dapat melihatnya di air yang diam”.
Konon ketika kaisar Shih Huang Ti terbaring sekarat, ia berbisik kepada anak-anaknya, “Betul kata Kong Hucu, kita tidak dapat melihat bayangan wajah kita di air yang mengalir, kita hanya dapat melihatnya di air yang diam”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar